About me

Senin, 28 Februari 2011

Daftar Bank dengan Aset Terbesar : Aset perbankan masih dikuasai 10 bank besar.

Market - Aset perbankan di Indonesia masih dikuasai 10 bank besar, yaitu mencapai 64,75 persen atau senilai Rp1.948,23 triliun. Per Desember 2010, total aset bank umum sebesar Rp3.008,85 triliun atau naik dibanding 2009 senilai Rp2.534,10 triliun.

Dari data statistik Bank Indonesia (BI), total aset itu paling banyak disumbang oleh bank umum swasta (devisa) sebesar Rp1.203,37 triliun. Peringkat kedua penyumbang terbesar adalah bank BUMN senilai Rp1.115,51 triliun.

PT Bank Mandiri Tbk masih menjadi pemegang aset terbesar yaitu Rp410,61 triliun atau menguasai 13,65 persen total aset perbankan. Jumlah itu meningkat dibanding Desember 2009 sebesar Rp375,23 triliun. Bank Mandiri juga menjadi bank yang memiliki dana pihak ketiga terbesar.

Peringkat kedua adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk dengan total aset Rp395,396 triliun atau menguasai 13,14 persen dari total aset bank di Indonesia. Tahun sebelumnya, total aset BRI Rp318,447 triliun atau 12,73 persen dari total aset perbankan.

Berikut daftar bank dengan aset terbesar:

1. PT Bank Mandiri Tbk beraset Rp410,61 triliun atau menguasai 13,65 persen total aset perbankan.

2. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk mempunyai aset Rp395,39 triliun atau menguasai 13,14 persen total aset.

3. PT Bank Central Asia Tbk dengan aset Rp323,34 triliun atau menguasai 10,75 persen total aset.

4. PT Bank Negara Indonesia Tbk beraset Rp241,16 triliun atau 8,02 persen dari total aset.

5. PT Bank CIMB Niaga Tbk memiliki aset Rp142,93 triliun atau menguasai 4,75 persen total aset.

6. PT Bank Danamon Indonesia Tbk beraset Rp113,86 triliun atau 3,78 persen dari total aset.

7. PT Pan Indonesia Bank Tbk mempunyai aset Rp106,5 triliun (3,54 persen).

8. PT Bank Permata Tbk beraset Rp74,04 triliun (2,46 persen).

9. PT Bank Internasional Indonesia Tbk memiliki aset Rp72,03 triliun atau 2,39 persen total aset.

10. PT Bank Tabungan Negara Tbk beraset Rp68,33 triliun atau 2,27 persen dari total aset.

Aset 10 bank tersebut mencapai Rp1.948,23 triliun atau 64,75 persen dari total aset perbankan. (iip)

Minggu, 27 Februari 2011

GARDA OTO Pertahankan TOP BRAND Selama 5 Tahun

Hendry Yoga, Direktur Asuransi Astra Menerima TOP BRAND Award 2011 di Jakarta

MARKETING, Jakarta Garda Oto sebagai salah satu produk asuransi mobil unggulan PT Asuransi Astra Buana, kembali berhasil mempertahankan prestasinya dengan meraih penghargaan TOP BRAND untuk yang kelima kalinya. Penghargaan yang diberikan oleh Majalah MARKETING dan Frontier Consulting Group ini, diterima oleh Hendry Yoga, Direktur Asuransi Astra dalam acara yang berlangsung Senin malam (7/1) di Hotel Mulia, Jakarta.

Penghargaan ini diberikan atas kinerja merek berdasarkan survei yang dilakukan oleh Frontier Consulting Group terhadap 3600 responden general di 6 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar dan 450 perusahaan yang ada di Jakarta dan Surabaya. Penilaian tersebut mencakup tiga komponen yang terdiri dari: Mind Share berdasarkan top of mind yaitu merek yang pertama kali disebut oleh responden ketika kategori produknya disebutkan, Market Share berdasarkan last used atau merek yang terakhir kali dikonsumsi oleh responden dalam satu re-purchase cycle, dan commitment Share berdasarkan future intention yaitu merek yang ingin dikonsumsi di masa mendatang.

Nilai masing-masing parameter untuk sebuah merek di dalam kategori produk tertentu diperoleh dengan cara menghitung persentase frekuensi merek tersebut relatif terhadap frekuensi keseluruhan merek. Top Brand Index selanjutnya diperoleh dengan cara menghitung rata-rata terbobot masing-masing parameter. Garda Oto meraih peringkat pertama Top Brand Indeks 2011 sebesar 27.5%, jauh melampaui pencapaian Top Brand Index asuransi mobil lain dan rata-rata indeks Top Brand di industri asuransi mobil.

Dengan penghargaan yang telah diraih ini, Garda Oto membuktikan eksistensi dan konsistensinya sebagai produk asuransi mobil pilihan konsumen yang handal, terpercaya, bertanggung jawab dalam melayani klaim dan selalu berusaha memberikan layanan yang terbaik bagi pelanggannya sesuai komitmen Don’t Worry be Happy dan visi Asuransi Astra ”we bring peace of mind to millions”.

Pada kesempatan ini, Hendry Yoga, Direktur Asuransi Astra menyampaikan terima kasih kepada pelanggan yang telah mempercayakan perlindungannya kepada Garda Oto. ”Penghargaan ini kami persembahkan untuk para pelanggan Garda Oto yang hingga saat ini masih menjadikan kami partner dalam memberikan perlindungan aset mereka. Komitmen kami untuk selalu memberikan kenyamanan dan keamananlah yang mendorong kami untuk berinovasi dan memberikan hanya yang terbaik kepada pelanggan,” katanya. (iip)

Kamis, 24 Februari 2011

David Ogilvy

David Ogilvy

David Ogilvy

Bila berbicara iklan, nama David Ogilvy tentu tidak bisa dipisahkan dari industri ini. Sebagai “The Father of Advertising”, namanya diabadikan pada tahun 1962 oleh Majalah Times sebagai ahli yang paling sering dicari dalam industri periklanan. Ia sangat dikenal dalam industri dan karier yang menuntut kreativitas dan juga moral ini. “Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi kita tidak bisa menjual apa yang kita ciptakan.” Begitu tuturnya.

Lahir pada 23 Juni 1911 di West Horsley, Inggris, Ogilvy mendapatkan beasiswa pada umur 13 untuk masuk ke Universitas Fettes di Edinburgh. Tahun 1929, ia kembali mendapatkan beasiswa, kali ini untuk menuju Christ Church, Oxford. Tanpa beasiswa, ia tak akan mampu masuk ke Fettes atau Oxford, karena bisnis ayahnya terkena dampak resesi pada masa pertengahan tahun 1920-an. Walaupun studinya tidak berhasil dan keluar dari Oxford, ia pergi menuju Paris di tahun 1931 untuk belajar menjadi juru masak di Majestic Hotel.

Setelah setahun, ia kembali ke Scotland dan memulai pekerjaan menjual kompor AGA secara door-to-door. Prestasinya dalam menjual menginspirasi bosnya untuk meminta Ogilvy menulis buku petunjuk atau manual tentang teori serta praktik bagaimana cara menjual Kompor AGA, untuk dibagikan kepada tenaga penjual lainnya. Tiga puluh tahun kemudian, manual tersebut masih tetap dipakai sebagai sumber tulisan oleh para editor Majalah Fortune. Mereka menyebutnya sebagai salah satu manual/petunjuk menjual paling bagus yang pernah ditulis.

Setelah melihat manual tersebut, adik Ogilvy yang bernama Francis Ogilvy, yang pernah bekerja di agensi periklanan di London bernama Mather & Crowther, memperlihatkan manual tersebut kepada manajemen perusahaan. Mather & Crowther lalu menawarkan jabatan account executive untuk Ogilvy. Sejak saat itulah kiprah Ogilvy dalam dunia periklanan dimulai. Dari karyawan hingga mempunyai agensi sendiri, warisannya yang paling jelas adalah Ogilvy & Mather Worldwide.

Ogilvy mementingkan dan memanfaatkan pelatihan untuk menyalurkan ide serta pengetahuannya tentang bagaimana menciptakan iklan dan mengembangkan orang lain. Program pelatihan yang disusun lengkap untuk setiap level di perusahaan, untuk karyawan baru, karyawan level tengah, kepala divisi, bagian kreatif, media, dan lain-lain.

Setelah melalui tingkat awal pelatihan, mereka cenderung menganggap pelatihan itu lebih sebagai hak istimewa untuk mengembangkan diri dan tidak hanya sekadar tugas atau kewajiban saja. Ogilvy menghadiri program-program pelatihan semampu mungkin tanpa harus terbang, karena ia ternyata sangat takut naik pesawat. Ia akan memilih naik kereta, bahkan untuk jarak perjalanan yang sangat jauh sekalipun.

Dalam kariernya periklanannya, Ogilvy mempunyai empat pedoman dasar utama:

  1. Riset: Ia menyadari betapa pentingnya riset dalam periklanan. Pada tahun 1952, ketika membuka agensinya sendiri, ia bahkan memposisikan dirinya sebagai direktur riset.
  2. Disiplin Profesional: “Saya lebih suka disiplin mencari ilmu pengetahuan daripada sikap masa bodoh atau asal tabrak.” Begitu katanya. Ia menyusun semua ilmu pengetahuan yang didapat ke dalam slide dan film presentasi—yang ia sebut sebagai Magic Lanterns. Selain itu, ia juga mengadakan beberapa program pelatihan bagi para profesional muda di dunia periklanan.
  3. Kecerdasan dan Kreativitas: Ia sangat menekankan pentingnya “ide besar”.
  4. Manfaat bagi Klien: Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi Anda tidak bisa menjual apa yang Anda ciptakan.

Ogilvy yakin bahwa ada korelasi yang sangat kuat akan banyaknya buku yang dibaca oleh seorang copywriter dengan kualitas kerjanya. Ia menganggap orang yang cenderung mengandalkan intuisi tanpa membaca buku apa pun tentang periklanan adalah sama dengan seorang ahli bedah yang tidak pernah membaca buku apa pun tentang ilmu bedah dan hanya mengandalkan intuisi.

Keahlian lain yang sangat dihargai Ogilvy adalah menulis. Hampir semua orang di jajaran atas Ogilvy paham benar akan cara menulis—dan mereka memang bisa menulis dengan baik. Disiplin untuk menulis bahkan menjadi budaya dari perusahaannya. Ogilvy sendiri menganggap dirinya sebagai penulis periklanan, tak lebih, tak kurang. Ia membuat banyak draft hanya dengan berbekal pensil.

Semua bahan dituliskan, ditulis ulang, dan ditulis ulang lagi. Ia menelusuri keseluruhan bahan untuk memisahkan kata sifat dan kata keterangan, serta menyisakan hanya kata benda dan kata kerja supaya bahan tersebut menjadi jelas dan mudah dibaca. Ogilvy mengusahakan tulisan hanya mempunyai kalimat sependek mungkin dan paragraf sesingkat mungkin. Tak lupa ia juga selalu menghilangkan kata-kata tak penting dan pengulangan. “Semakin baik Anda menulis, semakin tinggi posisi Anda di Ogilvy & Mather.”

Ogilvy & Mather telah menciptakan periklanan senilai miliaran dolar. Kita tentu mengerti bahwa angka sebesar itu dicapai tentu bukan hanya dari satu atau dua prestasi saja. Ogilvy tentu mempunyai strategi sendiri dalam membantu setiap kliennya:

Pertama, ia sadar bahwa hasil yang bisa didapat dari setiap iklan sangat bergantung dari bagaimana Anda memposisikan produk di pasar. Apakah Anda memposisikan Schweppes sebagai soft drink atau lebih baik sebagai minuman mixer? Apakah Anda lebih baik memposisikan Dove sebagai produk untuk kulit kering atau produk yang bisa membersihkan paling bersih? Hasil yang didapat dari kampanye periklanan Anda lebih banyak bergantung dari bagaimana Anda memposisikan produk daripada cara Anda menciptakan iklan itu sendiri. Positioning harus dimantapkan sebelum iklan diciptakan. Disinilah riset bisa berperan penting.

Hal kedua yang penting setelah positioning adalah apa saja yang bisa dijanjikan agensi iklan kepada kliennya. Sebuah janji bukanlah suatu tema, slogan, atau klaim. Janji sebenarnya adalah manfaat apa saja yang bisa didapat oleh klien. Manfaat tersebut haruslah unik dan kompetitif. Iklan yang diciptakan harus bisa menyampaikan manfaat tersebut. Kebanyakan iklan tidak menjanjikan apa-apa. Jika tak punya janji dan tujuan, iklan cenderung membuat produk menjadi gagal di pasaran, walaupun iklan tersebut banyak diingat atau disukai orang.

Ketiga, setiap iklan harus bisa menyampaikan brand image suatu produk. Kebanyakan produk tidak mempunyai image yang konsisten dari tahun ke tahun. Iklan yang didedikasikan untuk membangun dan terus-menerus mengasah personality dan image dari suatu merek akan mampu mendapatkan market share tertinggi di pasar.

Hal keempat yang penting dalam beriklan adalah iklan tersebut haruslah tersusun dari “ide besar”. Butuh suatu ide besar agar kita bisa mengejutkan audiens dan menyadarkan mereka akan betapa bagusnya produk kita. Hal terpenting adalah supaya iklan kita bisa menggerakkan konsumen setelah melihat iklan kita. Tetapi, harus diingat bahwa ide besar biasanya bersifat simpel. Terkadang, untuk menciptakan sesuatu yang simpel, kita malah membutuhkan suatu kejeniusan.

Kelima, kita harus menyadari bahwa iklan seringkali menciptakan persepsi tentang produk, bukan sebaliknya. Jika iklan Anda jelek, konsumen akan mengira produk Anda juga jelek, dan mereka jadi tidak tertarik untuk membeli. Inovasi sangatlah penting di sini. Kita harus mampu menciptakan tren dan bukan mengikuti tren yang sudah ada. Iklan yang meniru iklan lain jarang sekali bisa sukses. Seringkali Anda juga harus menguji inovasi Anda pada konsumen, dan lihat bagaimana mereka meresponsnya.

Hal keenam yang penting, Ogilvy tidak menemukan adanya korelasi antara iklan yang memenangkan penghargaan dengan iklan yang sukses mendongkrak penjualan. Di Ogilvy & Mather, mereka hanya memberikan penghargaan tahunan bagi kampanye periklanan yang bisa memberikan kontribusi terbanyak dalam hal penjualan. Iklan yang sukses tentu mampu menjual produknya dengan menyerap perhatian konsumen kepada produknya. Produklah yang menjadi inti dari iklan, bukan iklan itu sendiri.

Ketujuh, suatu agensi iklan yang bagus tahu benar bagaimana mensegmentasikan produk menurut faktor demografis pasar—apakah produk tersebut ditujukan untuk pria, anak-anak, atau untuk para petani yang berada di daerah selatan, dan lain-lain. Ogilvy & Mather menyadari bahwa segmentasi sangat menentukan positioning suatu produk.

Kedelapan, yang tak kalah penting adalah hindari bersikap terlalu kompleks dan rumit dalam menciptakan iklan. Kebanyakan kampanye iklan itu terlalu rumit dan menyangkut daftar kepentingan pemasaran yang terlalu panjang. Si agensi dibebani oleh terlalu banyak tuntutan dari terlalu banyak eksekutif. Biasanya, jika kita terlalu banyak ingin mencapai sesuatu dalam satu langkah, akhirnya kita malah tidak mencapai apa pun. Sungguh lebih baik menyederhanakan ide dan strategi Anda hingga menghasilkan satu tujuan sederhana dalam beriklan.

David Ogilvy meninggal pada 12 Juli 1999 di rumahnya yang berlokasi di Chateau de Touffou, Bonnes, Perancis. Ogilvy tetap dikenal sebagai salah satu nama yang paling terkenal, pemikir paling dominan, dan orang yang turut membentuk dunia periklanan. Bukunya, Ogilvy on Advertising, adalah ulasan tentang periklanan secara umum, dan tidak semua iklan yang dicantumkan adalah miliknya.

Di awal tahun 2004, Majalah Adweek menempatkan David Ogilvy di urutan pertama tokoh panutan dalam dunia periklanan. Hasil yang sama juga didapat dari hasil survei pada mereka yang mempelajari periklanan. Buku bestseller-nya, Confessions of an Advertising Man, menjadi salah satu buku yang paling populer di industri periklanan. (iip)

Senin, 21 Februari 2011

Berkomunikasi Bukan Berbicara

komunikasiweb

Pernahkah Anda membayangkan seperti apa jika ada dua orang yang berbeda karakter dan menerapkan teknik komunikasi yang berbeda, berorasi di depan banyak audiens tentang teman mereka yang sudah meninggal di acara pemakamannya?

Si orang pertama berpidato tentang bagaimana saluran darah di kepala temannya tersebut mulai tersumbat, lalu menyebabkan ini, lalu menyebabkan itu, hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kepala temannya. Lalu ia menyambungnya dengan menjelaskan beberapa istilah medis, tips dan saran-saran kesehatan bagi audiens yang hadir di acara pemakaman tersebut. Si orang pertama mengira dengan membagikan ilmunya kepada seluruh audiens yang hadir, ia mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Di lain pihak, si orang kedua menceritakan bagaimana temannya itu hanya berhasil mencetak dua angka dalam suatu pertandingan bola basket yang tak terlupakan sewaktu SMU dulu. “Saya ingat waktu itu kita sering memanggilnya si gagang es krim karena dia begitu kurus. Pada saat detik-detik terakhir pertandingan, sebuah bola umpan tiba-tiba hinggap di tangannya. Tetapi sayang ia lalu tersandung tali sepatunya sendiri dan terjatuh.”

“Walaupun demikian, sebelum terjatuh, ia masih sempat menyelamatkan bola tersebut ke temannya yang akhirnya berhasil mengegolkan bolanya. Sesaat kemudian, kepalanya lalu membentur satu benda keras di lapangan. Sepanjang hidupnya, temanku si gagang es krim memang selalu berbakat dalam menciptakan sesuatu yang dramatis. Perbuatannya selalu melebihi penampilannya. Dia memang pahlawanku.”

Kedua orang tersebut sama-sama membicarakan hal yang sama, yaitu teman mereka yang sudah meninggal. Ketika si orang pertama selesai berbicara panjang, penonton tidak memberikan ekspresi apapun. Tetapi, ketika si orang kedua selesai berbicara dengan singkat, terlihat ada beberapa penonton yang meneteskan air matanya dengan ekspresi wajah terharu, senang, dan sedih bercampur aduk. Si orang kedua rupanya lebih sukses menyentuh emosi para audiensnya.

Tak peduli di mana pun Anda berbicara—di depan umum, di acara pemakaman sampai presentasi produk di sebuah perusahaan—Anda sedang menjual diri Anda sendiri dengan berkomunikasi. Supaya bisa menjual, Anda harus “berkomunikasi” dan bukan hanya “berbicara”. Ikutilah tips-tips berikut supaya pesan yang Anda sampaikan bisa diserap dengan baik oleh audiens.

Apa yang Hendak Disampaikan

Pilihlah kata-kata yang hendak digunakan. Lima menit pertama dan lima menit terakhir adalah bagian terpenting. Anda harus membuka, menjelaskan, dan menyimpulkan. Supaya pesan Anda bisa diserap maksimal, maka buatlah kata-kata yang digunakan seminim mungkin.

Sederhanakan

Salah satu kesalahan fatal yang bisa Anda buat adalah meremehkan kepintaran audiens. Risikonya adalah kehilangan perhatian dalam sekejap. Anda tidak bisa menganggap audiens terlalu bodoh, tetapi jangan juga menganggap bahwa audiens sudah tahu atau mengerti benar akan apa yang hendak disampaikan. Sederhanakan, tetapi rincilah poin-poin penting yang akan Anda sampaikan, bahkan jika Anda menyampaikan sesuatu yang sebenarnya sudah dipahami audiens.

Hilangkan kata-kata yang tak perlu. Apa saja yang bisa dianggap tidak perlu? Apa pun yang menyimpang dari topik utama presentasi Anda dan malah bisa membingungkan atau mengundang kontroversi dari audiens. Terkadang hal yang paling sulit adalah menghilangkan kata-kata yang Anda sukai, tetapi sebenarnya tak berhubungan dengan tema utama. Jika tidak ada hubungannya dengan topik, maka lebih baik dihilangkan saja.

Berikan Penekanan

Jangan berharap apa yang Anda sampaikan bisa semuanya diserap oleh audiens. Beberapa hal, bahkan banyak hal, akan lewat begitu saja. Walaupun demikian, mereka pasti bisa mengingat apa tema atau topik utama yang hendak Anda sampaikan, jika Anda memberikan penekanan yang cukup dan tak berlebihan pada presentasi yang disampaikan. Cara terbaik melakukannya adalah dengan menyampaikan tema/topik utama tersebut dengan penekanan, pengulangan, atau disertai contoh-contoh.

Ketika Martin Luther King berbicara di depan Lincoln Memorial, ia mengulang-ulang satu kalimat, “I have a dream”. Bahkan, walaupun Anda tidak ingat lagi apa saja yang ia katakan waktu itu, Anda tetap bisa mengingat jelas tema uniknya, “I have a dream”. Perbedaan dari orang pertama dan orang kedua pada pidato di acara pemakaman di awal tadi sangatlah jelas, yaitu si orang kedua berhasil menekankan tema unik pidatonya, “Temanku si Gagang Es Krim”.

Tunjukkan, Jangan Cuma Ngomong

Kebanyakan dari kita bosan jika “diberitahu”, tetapi lebih tertarik jika “ditunjukkan atau diceritakan”. Perhatikan bahwa memberitahukan dengan detail itu berbeda dengan menceritakan dengan detail. Itulah sebabnya mengapa cerita lebih mudah diingat dan lebih tahan lama dalam ingatan kita.

Selain menceritakan, Anda juga bisa menggunakan bahasa tubuh dan demonstrasi bila perlu, agar bisa lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Contoh, Anda hendak menyampaikan, “Awal tahun ini, penjualan kita menurun sepertiganya.” Dengan disertai gerakan tiga jari yang bergerak turun akan bisa membantu audiens untuk lebih mengingatnya.

Libatkan Audiens

Seringkali bukan “apa” yang disampaikan, tetapi lebih pada “bagaimana” Anda menyampaikannya. Libatkanlah audiens Anda. Buat mereka tertarik dengan “menarik” mereka lebih dekat pada topik utama, contohnya dengan lebih sering menggunakan kata “kita” daripada kata “saya”.

Sesekali ajukan pertanyaan kepada audiens. Walaupun tidak ada yang menjawab, mereka pasti menjawabnya dalam hati dan merasa terlibat dalam presentasi Anda. Mereka bisa turut berpikir, turut mempertimbangkan, bahkan turut merasa dihormati, jika Anda sesekali melihat langsung ke mata mereka. Maka, sebelum memulai presentasi, pastikan Anda mengenal siapa audiens Anda.

Pada contoh di awal artikel ini, si orang pertama mungkin akan bisa lebih menarik perhatian audiens, jika yang hadir adalah kebanyakan dari kalangan akademis atau kedokteran. Tetapi, yang hadir di situ adalah orang-orang yang sedang bersedih atas kematian teman mereka dan berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Si orang kedua lebih berhasil menyedot perhatian karena tema yang ia sampaikan lebih bersifat “universal” dan cocok mengena di kalangan audiens yang hadir.

Latihan, Latihan, dan Latihan

Sebenarnya satu hal terburuk yang harus Anda hindari dalam berbicara adalah kegugupan. Rasa gugup merusak segalanya. Satu-satunya cara mengatasi kegugupan adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Anda bisa mencoba apa pun, termasuk mengatur nafas, mengepalkan tangan, minum, sampai menutupi kaki Anda yang gemetar, tetapi itu semua tidak akan banyak menolong. Latihan yang berulang-ulanglah yang bisa menghilangkan kegugupan.

Latihan membuat Anda mampu menghilangkan jeda-jeda yang tak diinginkan dalam berbicara, mengatur intonasi suara saat berbicara (kadang Anda harus berbicara keras, kadang Anda harus berbicara lembut, kadang cepat, kadang lambat). Kombinasi dari semua itu bisa membuat pidato Anda sangat menarik. Semua itu hanya bisa didapat dari “latihan”.

Minggu, 20 Februari 2011

Cukup Satu Kartu Saja

Indosat dan Telkom menggarap layanan satu kartu untuk menjawab kebutuhan akan kepraktisan dan efisiensi. Seberapa efektif?

Edy Kurnia, Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom Indonesia Tbk

Edy Kurnia, Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom Indonesia Tbk

Dunia sekarang cenderung menuntut kepraktisan dan kecepatan. Masyarakat mulai enggan dengan proses yang bertele-tele dan birokratis. Sebab itu, para pelaku industri pun kudu pandai-pandai menyikapi hal itu. Termasuk dalam memberikan produk dan layanan yang mengusung nilai kepraktisan dan kenyaman tersebut. Bila hal ini tidak dilakukan, ada kemungkinan konsumen akan lari kepada kompetitor yang produk dan layanannya lebih baik. Nah, kebutuhan ini sudah mulai ditangkap oleh para pemilik merek: Indosat dan PT Telkom Indonesia.

Kedua operator terkemuka ini kebetulan merilis program yang hampir sama, yakni single voucher—satu kartu untuk beberapa manfaat. Tapi, ada latar belakang yang berbeda mengapa kedua perusahaan tersebut mengeluarkan kartu tunggal ini. Indosat, misalnya, menjadikan branding sebagai salah satu alasan. “Ada dua cara memposisikan diri di depan pelanggan. Pertama, memakai merek korporat. Kedua, memakai merek produk atau sub merek. Nah, dengan satu kartu ini, kami ingin mengusung merek korporat. Mengingat juga Indosat datang dari tiga perusahaan yang merger di mana sub merek lebih dikenal saat itu,” kata Guntur S. Siboro, Direktur Marketing Indosat.

Sebelum ada voucer tunggal, sub merek lebih dikenal orang, seperti Mentari, Matrix, IM3, StarOne, maupun IM2. Masing-masing mempunyai karakter dan persepsi berbeda di benak pelanggan. “Ada empat sub merek yang bisa dilayani dalam satu kartu. Keempatnya diharapkan bisa ditautkan kepada satu merek payungnya, yakni Indosat. Baik sub merek maupun merek korporat Indosat sudah mempunyai ekuitas merek yang kuat,” imbuh Siboro.

Selain itu, kepraktisan bagi konsumen juga jadi alasan. Sebelumnya, pelanggan mengisi pulsa dengan kartu yang sesuai dengan nomor—tiap sub merek mengeluarkan nomor yang berbeda—yang dipakai. Untuk sebagian pelanggan, ini cukup merepotkan. Apalagi kalau datang ke gerai voucer dan tidak menemukan voucer yang dimaksud. Lama-lama orang akan meninggalkan merek tersebut karena keterbatasan voucer isi ulang. Sekarang, dengan satu kartu, pelanggan membeli pulsa IM3, Mentari, StarOne, dan broadband IM2.

Pelanggan, menurut Siboro, melihat isi ulang sekadar cara bayar. Sebab itu, pelanggan ingin cara bayar yang praktis. “Isi ulang bukan pendukung ekuitas merek. Itu hanya cara bayar. Wajar bila proses isi ulang kami satukan demi alasan kepraktisan. Selain itu, konsumen akan lebih mudah mendapatkannya. Voucer ini kan sebenarnya ‘uang’ dan ‘alat bayar’ ini tidak usah di-branding,” kata Siboro.

Tantangan dari proses isi ulang yang disatukan ini, menurut Siboro, masa periode aktifnya menjadi sama. Sekarang ini, 80–90 persen isi ulang yang paling besar volumenya adalah Rp 5.000 dan Rp 10.000. Siboro menangkap keunikan dalam diri konsumen Indonesia yang lebih senang membeli produk dalam kemasan kecil atau sachet. Siboro melihat ini disebabkan masyarakat Indonesia masih kurang percaya pada sistem. “Orang kita ingin meminimalisir kerugian dengan memilih format kecil. Padahal, kalau ditotal kebutuhannya sama juga dengan harga dalam kemasan besar. Secara psikologis, asalnya karena selama ini konsumen kurang diproteksi sehingga melahirkan ketidakpercayaan,” katanya.

Dari proses pengisian ulang pulsa, sekitar 80 persen adalah pengisian elektronik. Bahkan, di perkotaan sudah mencapai 90 persen. Lagi-lagi tuntutan kepraktisan. “Kami sendiri malah mendorong pengisian elektronik. Hal ini juga meminimalisir kecurian voucer. Tapi, tetap ada voucer fisik untuk memenuhi kebutuhan cadangan pulsa bagi mereka yang suka bepergian,” kata dia.

Selain itu, Indosat belakangan ini sedang mencoba membuat satu kartu perdana untuk beberapa merek. Uji coba sudah dilakukan di Luar Jawa. Dengan kartu perdana ini, selain bebas memilih merek, pelanggan juga bisa bebas memilih nomor kartu perdana yang ia kehendaki. “Semua proses aktivasi berjalan interaktif dengan kirim pesan singkat ke nomor tertentu. Ini menjadi inovasi baru dari kami. Ini pasti akan mengubah perilaku konsumen dalam memilih nomor perdana,” tandas Siboro.

Pengalaman Telkom

PT Telkom Indonesia Tbk juga meluncurkan program seperti Indosat yang dikenal dengan “Telkom Voucher”. Voucer ini merupakan produk kartu prabayar yang dapat digunakan untuk melakukan pengisian pulsa Telkom Flexi, membeli paket Yes TV, mengakses Telkom Hotspot, maupun isi ulang Speedy Prepaid. Rencananya, produk ini bakal dikembangkan lagi untuk seluruh produk layanan Grup Telkom.

Menurut Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom, Edy Kurnia, terdapat sejumlah manfaat yang bisa didapat pelanggan jika menggunakan Telkom Voucher.

Pertama, pelanggan akan semakin mudah untuk membayar tagihan produk Telkom. Kedua, pelanggan bisa terbantu mengontrol keuangannya. Dengan Telkom Voucher, pelanggan bisa mengisi pulsa sesuai kebutuhan. Saat ini, Telkom Voucher memiliki sejumlah denominasi, mulai dari Rp 10 ribu sampai dengan Rp 100 ribu. Penggunaan voucer ini sangat mudah. Contohnya, jika mau melakukan pembelian voucer Yes TV melalui mekanisme potong pulsa Flexi pelanggan melalui HP Flexi, cukup ketik Yes TV*kode_smartcard*kode_paket. Sedangkan untuk Speedy Prepaid, ketik vspeedy*nominal*nomor_akun, lalu kirim ke 9147. Adapun untuk melakukan Telkom Hotspot tinggal mengikuti petunjuk top up hot spot melalui welcome page Telkom Hotspot.

Bagi Telkom, strategi bundling seperti ini turut memberi sejumlah keuntungan. Antara lain, efisiensi biaya dan memacu percepatan jumlah pelanggan nantinya. Terutama untuk ketiga produk yang masuk ke dalam bundling Telkom Voucher, yakni Speedy, Flexi, dan Yes TV.

Sekarang, jumlah pelanggan Speedy telah mencapai 1,4 juta dan diharapkan menjadi 1,8 juta pelanggan sampai akhir tahun ini. Sedangkan untuk Flexi, kini pelanggannya sudah mencapai 15,5 juta dan ditargetkan bisa menembus angka 18 juta di tahun 2010.

Untuk Yes TV yang total pelanggannya 230 ribu, diharapkan bisa menggaet sampai 330 ribu pelanggan. “Boleh dibilang, ini salah satu langkah Telkom dalam menerapkan prinsip low budget high impact,” tutur Edy.

Dengan kehadiran Telkom Voucher, diharapkan persepsi calon pelanggan terhadap produk Telkom semakin baik—seperti dinilai mudah, efisien, dan murah. Jika itu sudah tertanam di benak mereka, kemungkinan untuk menjadikan mereka sebagai pelanggan baru Telkom akan lebih besar.

Edy mengatakan Telkom Voucher sudah bisa diperoleh di seluruh wilayah Indonesia. Memang, dari segi penetrasi baru mencapai 70 persen sekarang. Namun, sampai akhir tahun 2010, dipastikan sudah mencapai 100 persen.

Sementara itu, distribusi voucer ini dilakukan melalui jaringan distribusi milik Telkom sendiri, seperti Plasa Telkom dan agen-agen Telkom resmi lainnya, serta melalui ritel modern, seperti Carrefour dan Alfamart.

Ke depan, perusahaan pelat merah ini juga berencana untuk mengembangkan kanal distribusinya guna meningkatkan penetrasi Telkom Voucher. Edy mengatakan sampai akhir tahun 2010, pihaknya menargetkan penjualan Telkom Voucher bisa menembus angka 80–100 ribu kartu. Boleh dibilang ini masih relatif sedikit bila dibanding dengan total pelanggan yang dimiliki oleh ketiga produk Telkom tersebut. Sebab itu, perlu adanya edukasi lebih intensif lagi ke pelanggan perihal produk bundling ini.

Posisi Telkom Voucher sangat jelas, yakni sebagai sarana alternatif untuk memudahkan pelanggan. Produk ini menjadi salah satu pilihan bagi pelanggan yang ingin memperoleh kemudahan dalam membayar tagihan produk-produk Telkom.

“Jadi, kalau masih ada pelanggan yang mau membayar dengan cara konvensional, tetap dipersilakan. Kami tetap akan melayani keduanya,” ujar nya. (iip)

Jumat, 18 Februari 2011

Masihkah Iklan Diperlukan?

Iklan semakin mendapat tantangan di masa mendatang. Pemilihan media, kreativitas, dan perang iklan terus menjadi isu di masa depan. Bahkan, 50 persen iklan sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Edisi ini mengangkat berbagai sudut pandang soal iklan di Indonesia. Apakah iklan masih menjadi alat yang ampuh? Bagaimana pandangan para orang iklan, pengiklan, maupun pengamat brand dalam soal iklan?

coversegutweb

Di sebuah mal, 20 orang sedang menghadapi briefing dari sang supervisor. Sesekali mereka meneriakkan yel-yel, dan kemudian bubar untuk segera mencari prospek dari orang-orang yang lalu-lalang di dalam mal.

Perusahaan yang menjual alat-alat kesehatan di mal tersebut hampir-hampir tidak pernah mengeluarkan iklan. Mereka lebih mengandalkan tenaga penjual mereka yang setiap hari bergerilya mencari pelanggan di mal-mal. “Daripada uangnya untuk beriklan di televisi, mending dipakai untuk sewa tempat pameran di mal,” kata direktur pemasaran perusahaan tersebut.

Benarkah iklan semakin tidak diperlukan? Benarkah direct selling dan tenaga sales lebih punya kekuatan dibandingkan iklan? Berdasarkan survei MOM yang dilakukan oleh Majalah MARKETING, tampaknya direct selling semakin disukai oleh para marketer di Indonesia. Sementara, iklan televisi semakin menunjukkan sisi pesimis untuk bisa mendorong penjualan.

Mari lihat riset yang dilakukan asosiasi periklanan di AS sana. Dari hasil survei yang dilakukan, 73 persen pengiklan ternyata melihat tidak ada adanya kenaikan penjualan karena iklan. Herannya, kebanyakan marketer sadar bahwa 50 persen uang yang dihabiskan untuk iklan sebenarnya sia-sia. Cuma masalahnya, mereka juga tidak mengetahui di media mana saja iklan tersebut menjadi sia-sia.

Ida Bagus Yudi Suryanata, Client Solutions Director, The Nielsen Company, juga melihat tantangan yang cukup besar dihadapi oleh para pengiklan. Menurut dia, ritel modern telah menggerakkan perubahan dalam perilaku pembelian. Jika sebelumnya konsumen sudah memutuskan merek sebelum masuk toko. Sekarang, konsumen sering mengubah keputusan saat masuk ke ritel. Oleh karena itu, tantangannya adalah pergeseran dari pre-store communication menjad in-store communication.

Ledakan media memang menjadi akar penyebab turunnya efektivitas iklan. Iklan, bagaimanapun harus menemukan medium untuk bercokol. Kalau 30 tahun yang lalu Indonesia hanya punya satu saluran televisi, kini konsumen sudah kebanjiran program acara dari banyak saluran televisi. Kehadiran remote televisi juga semakin menambah kesulitan para pengiklan. Acara-acara favorit tidak menjamin pemirsa bisa mempertahankan atensinya terus-menerus. Toh, begitu iklan, mereka siap berpindah ke acara-acara yang lain. Oleh karenanya, jangan berharap bahwa iklan kita bisa sukses di acara yang punya rating tinggi.

Selain dari sisi jumlah, jenis media pun mengalami perkembangan. Kini, selain in-store media, mulai bermunculan internet dan mobile advertising. Ditambah majalah, koran, radio, dan billboard, maka tidak mengherankan kalau pengiklan harus semakin pintar memanfaatkan media yang ada. Apalagi sifat media modern ini banyak yang personal. Jika dulu, pengiklan cukup meletakkan merek di satu-dua stasiun televisi ataupun koran nasional. Kini, pengiklan harus melirik media-media seperti majalah yang tersegmentasi, ataupun radio dan televisi yang berskala lokal.

Apalagi, konsumen juga semakin mobile. Gerakan mereka semakin menyulitkan para marketer untuk bisa bergantung di satu media saja. Artinya, marketer harus semakin fleksibel dalam memainkan media-media yang ada.

Harris Thajeb, ketua P3I, melihat bahwa media-media tradisional seperti televisi, majalah, dan koran masih berperan besar. Di dunia sendiri, beriklan di internet porsinya masih tak lebih 5 persen dari total bujet promosi perusahaan. Apalagi, di Indonesia, media internet masih belum banyak dipakai, sekalipun pertumbuhannya juga tergolong cepat.

Dengan segala tantangan ini, mau tidak mau kreativitas harus semakin maksimal dimanfaatkan. Tidak hanya soal pemilihan media, tetapi juga pesan dan “seni” yang ditampilkan dalam iklan tersebut.

Greg Stuart, pakar periklanan yang sempat mampir di Indonesia, mengatakan bahwa orang-orang di dunia periklanan bukannya kering ide. Mereka adalah orang-orang hebat yang menguasai bidangnya. Namun demikian, landscape marketing yang dihadapi kini memang mengalami perubahan. Hal ini kadang-kadang membuat para marketer seperti menjadi irasional dalam mengeluarkan bujet. Sementara, return dari iklan itu sendiri juga semakin sulit diukur.

Iklan bukanlah segala-galanya dalam dunia marketing. Ada banyak variabel yang membuat keberhasilan sebuah merek, dan hal itu tidak bisa diletakkan semuanya pada iklan. Di sisi lain, iklan dianggap mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Maksudnya, iklan bisa menciptakan kebutuhan dari si konsumen. Dari tadinya tidak butuh menjadi butuh. Makanya, tidak mengherankan banyak marketer meletakkan segala sesuatunya pada iklan.

Mitos ini dibantah, salah satunya oleh Gerard Tellis, PhD., penulis buku Effective Advertising, yang mengatakan bahwa iklan tidaklah menciptakan consumer needs. “Semua orang sudah butuh sebuah mesin yang bisa menyimpan ratusan lagu sejak dulu. Jadi, bukan gara-gara iklan iPod kemudian membentuk habit baru di konsumen.”

Gerard pun mengingatkan bahwa efek iklan itu tidak bersifat instan. Pertama, dibutuhkan waktu bagi konsumen untuk bisa menerima iklan tersebut. Dari situ, prosesnya masih tertarik dulu, baru kemudian termotivasi untuk membeli. Artinya, ketertarikan konsumen bukan berarti membuat mereka langsung membeli. Ada hal-hal positif terlebih dahulu yang membuat mereka membeli. Misalnya, pengaruh dari orang lain, daya beli, dan lain-lain.

Makanya, iklan yang menarik tidak selalu berhasil. Marketer harus punya keahlian terlebih dulu untuk menggali motivasi apa yang membuat konsumen membeli suatu produk. Artinya, riset harus sering-sering dilakukan sebelum melakukan eksekusi iklan.

Inilah sebenarnya “dosa” terbesar marketer. Melepaskan tanggung jawab ini dan membiarkan para agensi periklanan membuat iklan yang semenarik mungkin. Sementara, si agensi iklan, agar meyakinkan dan menang pitching, merasa paham sekali soal produk klien. Padahal, memahami perilaku konsumen atas produk tersebut jauh lebih penting ketimbang produk si klien.

Marketer dan agensi iklan seharusnya menjalankan kolaborasi dengan baik. Greg Stuart mengatakan, salah satu kegagalan promosi melalui iklan adalah proses yang kurang diikuti dengan baik oleh Marketer. Mereka kurang mau terlibat dalam semua proses, apalagi jika mereka sudah merasa mengeluarkan banyak uang untuk agensi mereka. Yang diinginkan oleh para chief marketing officer (CMO) cuma hasil dari iklan tersebut, alias apakah iklan tersebut sukses atau tidak.

Unilever adalah salah satu perusahaan yang percaya pada kekuatan iklan. Namun kalau ditanya, orang-orang di dalam Unilever ini selalu menampik bahwa kekuatan bujet iklanlah yang membuat produk-produk mereka sukses di pasaran. Harus diakui pula, iklan-iklan keluaran Unilever juga selalu memukau. Simak saja iklan Pepsodent akhir-akhir ini, tentang seorang ayah yang mengajarkan anaknya untuk rajin menggosok gigi. Menakut-nakuti anak supaya mau menurut adalah budaya orang Indonesia. Namun, cara penyampaiannya dibuat humoris, karena anak sekarang pun terlihat kritis kalau ditakut-takuti oleh orang tuanya. Kreativitas ini muncul tak lain karena riset yang rajin mereka lakukan.

Salah satu perilaku-konsumen lain yang sering tidak dipahami oleh para pembuat iklan adalah bahwa orang Indonesia tidak suka yang rumit-rumit. Mengutip pernyataan Handi Irawan dalam sebuah seminar, orang Indonesia itu jangan dikasih iklan-iklan yang membuat dahi merek berkerut. Sampaikan pesan dengan mudah, jelas, dan langsung. Terlalu banyak hal yang tersembunyi dalam iklan membuat konsumen Indonesia tidak mudah menangkap pesan dari iklan tersebut.

Kelemahan lain, menurut Greg, adalah konsep operasional yang tidak dibangun pada saat menjalankan sebuah proyek periklanan. Konsep operasional menyangkut langkah-langkah eksekusi dan juga contigency plan. Selain itu, juga perlu diperjelas definisi dari kesuksesan iklan yang akan dieksekusi. Kalau ingin memperbesar awareness, frekuensi beriklan mungkin menjadi masalah pokok yang harus turut dibicarakan. Jika urusannya membuat konsumen tertarik, unsur visual dan tema iklan mungkin harus lebih kuat, dan sebagainya.

Jadi, tetap saja iklan bukanlah sesuatu yang instan bisa menghasilkan penjualan. Sama halnya dengan menaruh produk di ritel, pasti ada beberapa persen yang kembali (retur) karena tidak dibeli. Namun demikian, kita tidak bisa mengurangi secara drastis jumlah barang yang didistribusikan lewat ritel tersebut. Bagaimanapun, jumlah barang yang di-display dan jumlah stok barang (jika sewaktu-waktu habis) harus tetap ada.

Demikian halnya dengan iklan, waste itu selalu ada karena kita tidak bisa mengetahui secara tepat iklan yang mana dan di mana iklan tersebut mendapat respons positif. Yang paling mungkin adalah dengan melakukan riset terus-menerus dan mencegah supaya jangan terlalu terjadi waste dalam komunikasi. [miftah]

Rabu, 16 Februari 2011

Cukupkah Jumlah Tim Marketing Saya?

neracaweb

Dengan posisi Anda sebagai manajer, GM, direktur pemasaran, atau CMO, salah satu permintaan yang sering kita dapatkan dari anak buah adalah berhubungan dengan penambahan jumlah tenaga pemasaran atau penjualan. Kepala cabang beralasan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi untuk menaikkan penjualan adalah karena kurangnya tenaga penjual. Bagian promosi menetapkan bahwa aktivitas promosi seperti below the line, tidak banyak dapat dilakukan karena jumlah tim yang tidak memadai. Jadi, kekurangan jumlah tenaga pemasaran dan penjualan seringkali menjadi alasan terbaik kalau angka-angka penjualan tidak menggembirakan.

Lantas, sebagai pimpinan, apa yang menjadi respons Anda? Well, yang paling sering dikatakan—saya duga—adalah, “…coba tim yang sudah ada, perlu dimaksimalkan. Mereka harus bekerja lebih produktif,” atau “…manajemen sudah memutuskan untuk tidak merekrut karyawan baru,” atau juga, “ehm…, coba dihitung berapa kebutuhan tenaga baru. Pokoknya, selama masih bisa meningkatkan penjualan, silakan saja untuk menambah tenaga baru.” Untuk respons yang ketiga ini, manajemen seringkali juga tidak memberikan petunjuk yang lebih jelas.

Lalu, apakah ada konsep atau petunjuk bagi manajemen untuk membuat keputusan mengenai hal ini? Tentu saja! Berbagai aspek kualitatif atau kuantitatif dapat kita gunakan untuk membantu membuat keputusan. Mempunyai jumlah tenaga pemasar dan penjualan yang terlalu sedikit, berarti perusahaan telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penjualan. Kehilangan kesempatan ini, bila kemudian diakumulasikan dalam jangka panjang, bisa membuat kerugian yang lebih besar. Perusahaan menjadi lebih sulit bertumbuh; perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merebut 1 persen pangsa pasar di kemudian hari; atau perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang untuk menciptakan loyalitas dan ekuitas merek yang kuat. Perusahaan juga tidak mampu meluncurkan produk atau bisnis baru yang lebih baik dan lebih cepat. Maklum, semua tim yang bekerja, sudah memiliki beban yang besar untuk mengerjakan hal-hal yang rutin.

Kelebihan tenaga pemasar dan penjual tentunya menjadi beban biaya yang langsung mengurangi keuntungan perusahaan. Kelebihan tenaga kerja ini juga membuat produktivitas tim lain menjadi lebih rendah dan mengakibatkan budaya kerja yang tidak produktif. Jadi, dari dua kondisi ekstrim ini, perusahaan pastilah ada pada posisi yang tidak optimal.

Tes Kecukupan

Ada beberapa tes yang dapat digunakan perusahaan untuk melihat jumlah tenaga pemasaran dan penjualan yang optimal. Tes pertama yang paling gampang disebut dengan customer test. Mari kita bayangkan untuk semua perusahaan distributor consumer goods yang biasanya memiliki tim tenaga penjual yang relatif besar. Mereka melayani banyak outlet atau toko-toko ritel di seluruh Indonesia.

Kalau kita memiliki tenaga penjualan yang kurang, maka komentar banyak pelanggan kita adalah keluhan bahwa tenaga penjual atau salesman kita sulit diakses. Salesman dipersepsi memberikan perhatian yang kurang dan pelanggan cenderung jarang mendapatkan info dari salesman karena kesibukan mereka yang sangat tinggi. Di sisi lain, apabila perusahaan kita memiliki terlalu banyak tenaga penjualan, maka banyak pelanggan akan cenderung menghindar untuk bertemu. Pelanggan merasa bahwa mereka terlalu banyak berhubungan dengan tenaga penjual kita. Nah, dari kondisi ini, Anda bisa melakukan observasi, manakah yang paling sering dikemukakan oleh para pelanggan Anda.

Tes yang kedua berhubungan dengan motivasi. Biasanya, bila jumlah tenaga penjualan terlalu sedikit, pekerjaan menjadi sangat banyak dan mereka harus bekerja ekstra waktu. Maka, motivasi mereka akan turun. Mereka merasa bahwa tugas yang dibebankan kepada mereka sudah terlalu banyak. Demikian juga, bila jumlah tenaga penjualan terlalu banyak, motivasi pun menurun. Mereka mulai khawatir untuk memikirkan siapa yang akan dimutasi atau dikurangi. Situasi seperti ini pastilah membuat motivasi kerja akan menurun karena adanya ketidakpastian.

Kedua tes di atas relatif sangat kualitatif dan mudah diobservasi. Walaupun demikian, tentunya bukanlah tes yang memiliki validitas yang tinggi. Kedua tes tersebut sangat baik sebagai indikasi awal mengenai kecukupan tenaga pemasaran atau penjualan sebuah perusahaan.

Tes yang ketiga adalah benchmarking test. Dalam hal ini, kita perlu untuk mencari informasi mengenai jumlah tim yang dimiliki pesaing dan dibandingkan dengan besarnya revenue, atau banyaknya pelanggan yang dilayani. Kalau kita memiliki tenaga penjual sebanyak 100 dan pesaing kita punya 200 tenaga, tetapi penjualan kita hanya 30 persen dari pesaing, ini sudah menjadi indikasi yang kuat bahwa jumlah salesman kita terlalu banyak dibandingkan dengan pesaing. Dalam konteks benchmarking, salah satu pertanyaannya adalah, “Siapa yang menjadi pesaing, yang digunakan sebagai acuan?” Yang harus Anda ambil adalah pemegang pangsa pasar tertinggi. Kalau perusahaan Anda merupakan pemimpin pasar, maka yang dipilih adalah pesaing terdekatnya.

Tes keempat, salah satu yang terbaik adalah yang disebut activity test. Melakukan benchmarking adalah hal yang baik, tetapi bagaimana kalau semua pesaing kita juga tidak optimal? Ini tentunya juga sangat berbahaya untuk membuat keputusan. Maka saya menyarankan, tes keempat ini adalah tes yang wajib dilakukan untuk mendapatkan angka paling optimal dalam hal jumlah tenaga pemasaran dan penjualan kita. Dengan menggunakan tes ini, maka perusahaan harus mulai memikirkan keseluruhan aktivitas yang akan dikerjakan oleh tenaga pemasaran.

Misalkan saja, perusahaan memiliki 10 salesman. Mereka harus melayani sebanyak 1.000 outlet. Kemudian kita bertanya, apakah 10 salesman ini merupakan jumlah yang cukup. Untuk itu, langkah pertama adalah dengan melihat aktivitas apa saja yang harus dilakukan oleh tenaga penjual. Mereka harus menghabiskan waktu untuk masalah administrasi atau persiapan sebelum menemui pelanggan. Mereka juga harus menemui pelanggan dan setiap pelanggan memiliki frekuensi kunjungan yang berbeda-beda, tergantung besar kecilnya order. Salesman juga menghabiskan waktu di jalan. Bisa jadi, mereka juga terlibat dalam pengiriman barang dan aktivitas lain. Intinya, keseluruhan aktivitas ini kemudian diperhitungkan untuk melihat kebutuhan waktu.

Misalnya saja, setiap outlet ternyata membutuhkan waktu sebanyak dua jam per bulan. Ini termasuk keseluruhan aktivitas yang membuat target bisa tercapai. Maka untuk 1.000 outlet, dibutuhkan sebanyak 2.000 jam. Total waktu kerja per salesman per hari adalah tujuh jam efektif. Bila dikalikan 20 hari kerja per bulan, maka diperoleh total waktu adalah 140 jam per bulan. Jadi, idealnya jumlah salesman yang dibutuhkan adalah 2.000 jam/140 jam=14 atau 15 salesman. Kenyataannya, perusahaan hanya memiliki 10 salesman. Dengan melihat angka-angka ini, perusahaan perlu merekrut empat atau lima tenaga salesman baru.

Activity test ini juga merupakan tes terbaik yang digunakan untuk perusahaan B to B, yaitu perusahaan yang pelanggannnya adalah juga perusahaan. Hanya saja, aktivitas penjualan untuk jenis perusahaan ini jauh lebih kompleks, karena selain lama dan panjangnya proses, pelanggan memiliki decision making unit yang minimal terdiri dari decision maker, influencer, dan user. Manajemen perlu untuk membuat selling pipe line mulai dari aktivitas untuk mencari prospek, hingga menjadi pelanggan yang memberikan order.

Kelebihan dari tes keempat ini, manajemen dipaksa untuk memikirkan rencana ke depan. Apakah mereka akan melakukan ekspansi? Apakah akan menambah pelanggan baru? Apakah ada aktivitas tenaga penjual yang perlu ditambah atau malah dikurangi? Apakah selain salesman, ada pihak-pihak lain yang diminta untuk melakukan penjualan? Dengan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, manajer atau direktur penjualan baru akan mampu untuk membuat activity test.

Tes terakhir adalah financial test. Ini merupakan salah satu bentuk evaluasi yang melibatkan bagian keuangan. Menambah tenaga kerja di bidang pemasaran atau penjualan adalah sebuah investasi. Karena merupakan investasi, penambahan tenaga kerja hanya diperbolehkan kalau memang mencapai ROI yang ditetapkan perusahaan. Jadi, bila merekrut salesman baru membutuhkan gaji Rp 2 juta dan biaya-biaya lain sebanyak Rp 3 juta, maka total biaya per penambahan salesman adalah Rp 5 juta. Dengan begitu, angka kontribusi profit tambahan yang harus diperoleh oleh salesman baru tersebut adalah Rp 5 juta per bulan. Bila jumlahnya lebih kecil dari angka ini, berarti perusahaan akan merugi dan lebih baik untuk tidak melakukan penambahan. Kalau perusahaan menetapkan ROI sebesar 20 persen, maka minimal kontribusi profit sebelum dikurangi biaya salesman dari penambahan salesman yang baru adalah Rp 6 juta per bulan. Jadi, minimal harus diperoleh penambahan Rp 1 juta untuk setiap penambahan satu salesman.

Inilah berbagai tes yang dapat dilakukan untuk membantu perusahaan memberikan jawaban atas optimalisasi jumlah tenaga kerja di pemasaran atau di bagian penjualan. Kita bisa melihat bahwa membuat perhitungan untuk tenaga penjualan atau salesman jauh lebih mudah dibandingkan dengan tenaga lain, seperti tenaga promosi yang tidak berhubungan langsung dengan penjualan. Untuk para manajer atau direktur yang membawahi tenaga pemasaran seperti promosi, tes ketiga dan keempat adalah pilihan yang terbaik.

Bagaimana dengan jumlah tenaga pemasaran di perusahaan Anda? Bagaimana jumlah salesman Anda? Apakah terlalu banyak, atau terlalu sedikit? Mari lakukan berbagai tes di atas. Ini juga untuk menghindari kebiasaan dari anak buah yang selalu mengatakan, “…jumlah tenaga penjualan kita kurang!” Sungguhkah?

Cukupkah Jumlah Tim Marketing Saya?

neracaweb

Dengan posisi Anda sebagai manajer, GM, direktur pemasaran, atau CMO, salah satu permintaan yang sering kita dapatkan dari anak buah adalah berhubungan dengan penambahan jumlah tenaga pemasaran atau penjualan. Kepala cabang beralasan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi untuk menaikkan penjualan adalah karena kurangnya tenaga penjual. Bagian promosi menetapkan bahwa aktivitas promosi seperti below the line, tidak banyak dapat dilakukan karena jumlah tim yang tidak memadai. Jadi, kekurangan jumlah tenaga pemasaran dan penjualan seringkali menjadi alasan terbaik kalau angka-angka penjualan tidak menggembirakan.

Lantas, sebagai pimpinan, apa yang menjadi respons Anda? Well, yang paling sering dikatakan—saya duga—adalah, “…coba tim yang sudah ada, perlu dimaksimalkan. Mereka harus bekerja lebih produktif,” atau “…manajemen sudah memutuskan untuk tidak merekrut karyawan baru,” atau juga, “ehm…, coba dihitung berapa kebutuhan tenaga baru. Pokoknya, selama masih bisa meningkatkan penjualan, silakan saja untuk menambah tenaga baru.” Untuk respons yang ketiga ini, manajemen seringkali juga tidak memberikan petunjuk yang lebih jelas.

Lalu, apakah ada konsep atau petunjuk bagi manajemen untuk membuat keputusan mengenai hal ini? Tentu saja! Berbagai aspek kualitatif atau kuantitatif dapat kita gunakan untuk membantu membuat keputusan. Mempunyai jumlah tenaga pemasar dan penjualan yang terlalu sedikit, berarti perusahaan telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penjualan. Kehilangan kesempatan ini, bila kemudian diakumulasikan dalam jangka panjang, bisa membuat kerugian yang lebih besar. Perusahaan menjadi lebih sulit bertumbuh; perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merebut 1 persen pangsa pasar di kemudian hari; atau perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang untuk menciptakan loyalitas dan ekuitas merek yang kuat. Perusahaan juga tidak mampu meluncurkan produk atau bisnis baru yang lebih baik dan lebih cepat. Maklum, semua tim yang bekerja, sudah memiliki beban yang besar untuk mengerjakan hal-hal yang rutin.

Kelebihan tenaga pemasar dan penjual tentunya menjadi beban biaya yang langsung mengurangi keuntungan perusahaan. Kelebihan tenaga kerja ini juga membuat produktivitas tim lain menjadi lebih rendah dan mengakibatkan budaya kerja yang tidak produktif. Jadi, dari dua kondisi ekstrim ini, perusahaan pastilah ada pada posisi yang tidak optimal.

Tes Kecukupan

Ada beberapa tes yang dapat digunakan perusahaan untuk melihat jumlah tenaga pemasaran dan penjualan yang optimal. Tes pertama yang paling gampang disebut dengan customer test. Mari kita bayangkan untuk semua perusahaan distributor consumer goods yang biasanya memiliki tim tenaga penjual yang relatif besar. Mereka melayani banyak outlet atau toko-toko ritel di seluruh Indonesia.

Kalau kita memiliki tenaga penjualan yang kurang, maka komentar banyak pelanggan kita adalah keluhan bahwa tenaga penjual atau salesman kita sulit diakses. Salesman dipersepsi memberikan perhatian yang kurang dan pelanggan cenderung jarang mendapatkan info dari salesman karena kesibukan mereka yang sangat tinggi. Di sisi lain, apabila perusahaan kita memiliki terlalu banyak tenaga penjualan, maka banyak pelanggan akan cenderung menghindar untuk bertemu. Pelanggan merasa bahwa mereka terlalu banyak berhubungan dengan tenaga penjual kita. Nah, dari kondisi ini, Anda bisa melakukan observasi, manakah yang paling sering dikemukakan oleh para pelanggan Anda.

Tes yang kedua berhubungan dengan motivasi. Biasanya, bila jumlah tenaga penjualan terlalu sedikit, pekerjaan menjadi sangat banyak dan mereka harus bekerja ekstra waktu. Maka, motivasi mereka akan turun. Mereka merasa bahwa tugas yang dibebankan kepada mereka sudah terlalu banyak. Demikian juga, bila jumlah tenaga penjualan terlalu banyak, motivasi pun menurun. Mereka mulai khawatir untuk memikirkan siapa yang akan dimutasi atau dikurangi. Situasi seperti ini pastilah membuat motivasi kerja akan menurun karena adanya ketidakpastian.

Kedua tes di atas relatif sangat kualitatif dan mudah diobservasi. Walaupun demikian, tentunya bukanlah tes yang memiliki validitas yang tinggi. Kedua tes tersebut sangat baik sebagai indikasi awal mengenai kecukupan tenaga pemasaran atau penjualan sebuah perusahaan.

Tes yang ketiga adalah benchmarking test. Dalam hal ini, kita perlu untuk mencari informasi mengenai jumlah tim yang dimiliki pesaing dan dibandingkan dengan besarnya revenue, atau banyaknya pelanggan yang dilayani. Kalau kita memiliki tenaga penjual sebanyak 100 dan pesaing kita punya 200 tenaga, tetapi penjualan kita hanya 30 persen dari pesaing, ini sudah menjadi indikasi yang kuat bahwa jumlah salesman kita terlalu banyak dibandingkan dengan pesaing. Dalam konteks benchmarking, salah satu pertanyaannya adalah, “Siapa yang menjadi pesaing, yang digunakan sebagai acuan?” Yang harus Anda ambil adalah pemegang pangsa pasar tertinggi. Kalau perusahaan Anda merupakan pemimpin pasar, maka yang dipilih adalah pesaing terdekatnya.

Tes keempat, salah satu yang terbaik adalah yang disebut activity test. Melakukan benchmarking adalah hal yang baik, tetapi bagaimana kalau semua pesaing kita juga tidak optimal? Ini tentunya juga sangat berbahaya untuk membuat keputusan. Maka saya menyarankan, tes keempat ini adalah tes yang wajib dilakukan untuk mendapatkan angka paling optimal dalam hal jumlah tenaga pemasaran dan penjualan kita. Dengan menggunakan tes ini, maka perusahaan harus mulai memikirkan keseluruhan aktivitas yang akan dikerjakan oleh tenaga pemasaran.

Misalkan saja, perusahaan memiliki 10 salesman. Mereka harus melayani sebanyak 1.000 outlet. Kemudian kita bertanya, apakah 10 salesman ini merupakan jumlah yang cukup. Untuk itu, langkah pertama adalah dengan melihat aktivitas apa saja yang harus dilakukan oleh tenaga penjual. Mereka harus menghabiskan waktu untuk masalah administrasi atau persiapan sebelum menemui pelanggan. Mereka juga harus menemui pelanggan dan setiap pelanggan memiliki frekuensi kunjungan yang berbeda-beda, tergantung besar kecilnya order. Salesman juga menghabiskan waktu di jalan. Bisa jadi, mereka juga terlibat dalam pengiriman barang dan aktivitas lain. Intinya, keseluruhan aktivitas ini kemudian diperhitungkan untuk melihat kebutuhan waktu.

Misalnya saja, setiap outlet ternyata membutuhkan waktu sebanyak dua jam per bulan. Ini termasuk keseluruhan aktivitas yang membuat target bisa tercapai. Maka untuk 1.000 outlet, dibutuhkan sebanyak 2.000 jam. Total waktu kerja per salesman per hari adalah tujuh jam efektif. Bila dikalikan 20 hari kerja per bulan, maka diperoleh total waktu adalah 140 jam per bulan. Jadi, idealnya jumlah salesman yang dibutuhkan adalah 2.000 jam/140 jam=14 atau 15 salesman. Kenyataannya, perusahaan hanya memiliki 10 salesman. Dengan melihat angka-angka ini, perusahaan perlu merekrut empat atau lima tenaga salesman baru.

Activity test ini juga merupakan tes terbaik yang digunakan untuk perusahaan B to B, yaitu perusahaan yang pelanggannnya adalah juga perusahaan. Hanya saja, aktivitas penjualan untuk jenis perusahaan ini jauh lebih kompleks, karena selain lama dan panjangnya proses, pelanggan memiliki decision making unit yang minimal terdiri dari decision maker, influencer, dan user. Manajemen perlu untuk membuat selling pipe line mulai dari aktivitas untuk mencari prospek, hingga menjadi pelanggan yang memberikan order.

Kelebihan dari tes keempat ini, manajemen dipaksa untuk memikirkan rencana ke depan. Apakah mereka akan melakukan ekspansi? Apakah akan menambah pelanggan baru? Apakah ada aktivitas tenaga penjual yang perlu ditambah atau malah dikurangi? Apakah selain salesman, ada pihak-pihak lain yang diminta untuk melakukan penjualan? Dengan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, manajer atau direktur penjualan baru akan mampu untuk membuat activity test.

Tes terakhir adalah financial test. Ini merupakan salah satu bentuk evaluasi yang melibatkan bagian keuangan. Menambah tenaga kerja di bidang pemasaran atau penjualan adalah sebuah investasi. Karena merupakan investasi, penambahan tenaga kerja hanya diperbolehkan kalau memang mencapai ROI yang ditetapkan perusahaan. Jadi, bila merekrut salesman baru membutuhkan gaji Rp 2 juta dan biaya-biaya lain sebanyak Rp 3 juta, maka total biaya per penambahan salesman adalah Rp 5 juta. Dengan begitu, angka kontribusi profit tambahan yang harus diperoleh oleh salesman baru tersebut adalah Rp 5 juta per bulan. Bila jumlahnya lebih kecil dari angka ini, berarti perusahaan akan merugi dan lebih baik untuk tidak melakukan penambahan. Kalau perusahaan menetapkan ROI sebesar 20 persen, maka minimal kontribusi profit sebelum dikurangi biaya salesman dari penambahan salesman yang baru adalah Rp 6 juta per bulan. Jadi, minimal harus diperoleh penambahan Rp 1 juta untuk setiap penambahan satu salesman.

Inilah berbagai tes yang dapat dilakukan untuk membantu perusahaan memberikan jawaban atas optimalisasi jumlah tenaga kerja di pemasaran atau di bagian penjualan. Kita bisa melihat bahwa membuat perhitungan untuk tenaga penjualan atau salesman jauh lebih mudah dibandingkan dengan tenaga lain, seperti tenaga promosi yang tidak berhubungan langsung dengan penjualan. Untuk para manajer atau direktur yang membawahi tenaga pemasaran seperti promosi, tes ketiga dan keempat adalah pilihan yang terbaik.

Bagaimana dengan jumlah tenaga pemasaran di perusahaan Anda? Bagaimana jumlah salesman Anda? Apakah terlalu banyak, atau terlalu sedikit? Mari lakukan berbagai tes di atas. Ini juga untuk menghindari kebiasaan dari anak buah yang selalu mengatakan, “…jumlah tenaga penjualan kita kurang!” Sungguhkah?

Senin, 14 Februari 2011

NEC Perkenalkan 4 Produk Terbaru Untuk Solusi Retail

Acara press conference NEC yang memperkenalkan 4 produk terbarunya di Grand Hyatt Jakarta

Acara press conference NEC yang memperkenalkan 4 produk terbarunya di Grand Hyatt Jakarta

PT NEC Indonesia – subsidiari dari NEC Corp – Jepang, memperkenalkan 4 point of sale (POS) systems terbaru untuk bisnis retail di pasar Indonesia. Ke-empat produk POS systems terbaru tersebut adalah TWINPOS3700G2, TWINPOS5500Ui, TWINPOS3500SE, dan TWINPOS3500B1.

Takeshi Tsukamoto – President Director PT NEC Indonesia mengatakan, pasar Indonesia sangat menarik karena tidak mengalami pelambatan laju pertumbuhan ekonomi akibat krisis global seperti yang dialami Negara-negara lain. Selain itu, kondisi pasar retail di Indonesia semakin berkembang pesat selama dua tahun belakangan ini, khususnya di kota-kota besar dan mencapai pertumbuhan sebesar 9,3% di kwarter pertama tahun 2010 ini. “Ini saat yang tepat untuk menawarkan sebuah solusi POS systems untuk industri retail di Indonesia,” kata Tsukamoto kepada para wartawan saat jumpa pers di Grand Hyatt Jakarta, Rabu (4/8) lalu.

Sementara itu, Kazunobu Waki – General Manager Global Retail and Service Solution Division NEC Corp mengatakan, NEC memiliki pengalaman luas dalam mengimplementasikan solusi retail untuk pengecer lokal dan global selama puluhan tahun. “Pelanggan kami akan menemukan solusi yang mudah dan nyaman, dan akan mendapatkan keuntungan dari keahlian kami dalam menghadirkan solusi dari usaha ritel mereka,” katanya.

Adam Suhartanto – Project Manager SI Departement PT NEC Indonesia menambahkan, di industri ritel tanah air saat ini, 7-Eleven adalah pengguna untuk POS systems dari produk keluaran NEC Corp ini. Rencananya, POS system juga akan membidik pasar yang lebih luas lagi seperti supermarket besar dan kecil. “Kedepan, kami juga akan masuk ke supermarket besar maupun kecil,” ujarnya.

(Harry Tanoso/Majalah MARKETING)

Kamis, 10 Februari 2011

77 Kontainer Daging Ilegal Dilarang Masuk RI

Dirjen Peternakan Prabowo Respatiyo Caturroso mengaku tidak mau meneken Surat Pemberitahuan Pemasukan (SPP) 77 kontainer yang berisi daging impor. Alasannya, impor daging tersebut tidak sesuai dengan prosedur, sehingga tidak diizinkan masuk ke pasar Indonesia.


"Saya tidak mau teken. Kalau saya teken nanti melanggar Undang-Undang," ujar Dirjen Peternakan Prabowo kepada VIVAnews.com di Jakarta, Kamis, 10 Februari 2011. "Saya baru mau teken izin masuk, jika ada perintah dari Menteri atau Presiden."

Kemarin, Menteri Keuangan Agus Martowardojo melakukan inspeksi ke kawasan bea cukai Tanjung Priok. Di sana, aparat Bea Cukai menemukan 77 kontainer berisi daging dan jeroan yang masih tertahan di Badan Karantina Kementerian Pertanian di Tanjung Priok. Seluruh kontainer tersebut masih dilengkapi dengan pendingin yang menyala, di mana 10 kontainer berisi daging jeroan dan 65 kontanier berisi daging.

Kemenkeu belum bisa memutuskan status dari daging impor tersebut apakah ilegal atau tidak. Sebab, pengurusan dokumen rencananya akan diselesaikan di Jakarta. "Kalau mau diurus di Jakarta, itu tentu masuk domain Ditjen Peternakan," kata Agus.

Namun, Dirjen Peternakan peternakan menekankan sesuai dengan ketentuan, SPP sudah harus diurus lebih dulu sebelum mengimpor daging. SPP tidak bisa diurus setelah barangnya diimpor dan akan dimasukkan ke pasar Indonesia.

"Saya tidak mau teken izin masuk barang tersebut karena SPP-nya tidak ada. Kalau impor tanpa mengantongi SPP itu kan ilegal," tuturnya.

Dia menekankan untuk menjaga harga daging di pasar dalam negeri, pemerintah memang membatasi kuota impor daging. Dalam setahun dibatasi 50 ribu ton, masing-masing 25 ribu ton satu semester. Nah, saat ini, sampai 20 Januari 2011, dia sudah meneken 23 ribu ton daging impor.

"Kalau 77 kontainer daging impor diizinkan masuk, maka harga daging dalam negeri bisa kacau," kata Dirjen. (L)

Selasa, 08 Februari 2011

China Geser Amerika, Indonesia Masuk 5 Besar? Ekonomi dunia berada dalam super-cycle babak baru pertumbuhan tinggi. Asia pemenangnya?


Dr. Gerard Lyons, Group Head of Global Research Stanchart (standardchartered.com)

VIVAnews - Perekonomian dunia kini berada dalam super-cycle (siklus-super). Ini adalah masa pertumbuhan global historis yang tinggi, yang berlangsung satu generasi atau lebih. Super-cycle yang ditandai dengan munculnya pertumbuhan ekonomi yang cepat ini dinikmati oleh negara seperti Cina, India dan Indonesia sekarang.

Ada banyak faktor pendorong terjadinya hal ini, termasuk peningkatan perdagangan, tingginya tingkat investasi, urbanisasi yang cepat dan inovasi teknologi.

Dalam sejarahnya, perekonomian dunia telah dua kali menikmati super-cycle sebelumnya. Pertama, 1870-1913, mengalami pick-up signifikan pada pertumbuhan global. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia setiap tahun sebesar 2,7%, satu persen lebih tinggi dari sebelumnya. Siklus itu dipimpin oleh munculnya Amerika Serikat, serta munculnya peningkatan perdagangan dan penggunaan teknologi yang lebih besar dari Revolusi Industri.

Super siklus kedua, dari 1945 hingga awal 1970-an, pertumbuhan rata-rata 5% dan ditandai oleh rekonstruksi pasca-Perang dan catch-up di sebagian besar dunia. Ini juga ditandai oleh munculnya kelas menengah yang besar di Barat dan negara-negara pengekspor di Asia, dipimpin oleh Jepang.

Sekarang, kita mungkin berada dalam super-cycle yang berbeda, namun dengan aspek-aspek serupa seperti dua super-cycle sebelumnya.

Bagi orang-orang di Asia dan di seluruh dunia, muncul ide pertumbuhan mungkin terdengar tidak biasa. Tapi bagi banyak orang di Barat, pikiran dari Super-Cycle bukan hal aneh mengingat masalah inilah yang dihadapi perekonomian dunia. Faktanya,ekonomi dunia sekarang lebih dari US$62 triliun, sekitar dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu, bahkan telah melampaui puncak pra-resesi.

Selama dua tahun terakhir, ekonomi telah rebound didorong oleh kebijakan stimulus di Barat dan oleh pertumbuhan kuat di Timur. Memang, pasar di negara-negara berkembang, yang merupakan sepertiga dari ekonomi dunia, saat ini mencapai dua-pertiga pertumbuhannya. Tren ini tampaknya akan terus berlanjut.

Pada tahun 2030, perekonomian dunia bisa tumbuh menjadi US$308 triliun. Proyeksi ini berarti tingkat pertumbuhan riil sebesar 3,5% untuk periode mulai tahun 2000 -- saat Super-Cycle dimulai -- hingga 2030. Atau rata-rata pertumbuhan riil sebesar 3,9% dari sekarang hingga 2030. Ini akan menjadi kemajuan signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan 2,8% selama 1973 hingga 2000.

Situasi yang luar biasa tidak hanya berupa kemungkinan skala ekspansi ini, tetapi juga ramalan yang didasarkan pada proyeksi pertumbuhan yang terlalu berhati-hati. Misalnya, China diperkirakan akan tumbuh rata-rata 6,9% per tahun selama periode tahun 2030 dan India sebesar 9,3%.

Pada tahun 2030, India mungkin telah menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia. Selain itu, Indonesia, yang saat ini perekonomian peringkat 18 terbesar kemungkinan besar akan pindah menjadi lima terbesar dunia dalam jangka waktu dua puluh tahun saja, setelah menikmati hampir rata-rata 7% pertumbuhan selama periode tersebut.

Memang, selalu ada risiko yang dapat mempengaruhi pertumbuhan global. Super-cycle pertama berakhir dengan pecahnya Perang Dunia Pertama, yang kedua dengan guncangan minyak bumi diawal tahun tujuh puluhan. Namun, kali ini semoga dunia mempunyai posisi lebih baik untuk mengatasi risiko munculnya badan pengambil keputusan internasional dan forum kebijakan seperti G20.

Sangatlah penting menekankan bahwa super cycle bukan berarti pertumbuhan akan terus menguat selama seluruh periode. Dalam tiga atau empat tahun terakhir saya termasuk di antara yang paling pesimis tentang pertumbuhan ekonomi AS. Saya masih berhati-hati karena perekonomian AS masih akan berjuang di tahun depan dengan pertumbuhan di bawah tren. Demikian juga Eropa dan Jepang, keduanya akan menghadapi prospek jangka pendek yang masih lesu dengan pertumbuhan datar.

Karena itu, perkembangan akan lebih luar biasa jika Asia dapat mendorong lebih banyak pertumbuhan mereka sendiri. Apalagi hal tersebut sangat dibutuhkan dunia.

Tahun depan, China akan melihat tahun pertama dari rencana lima-tahunan ke-12. Hal ini seharusnya akan membantu pertumbuhan mereka. Namun demikian, bank sentral China dan lainnya di seluruh Asia akan melakukan pengetatan kebijakan untuk menahan inflasi. Pada gilirannya, hal ini harusnya memungkinkan pertumbuhan yang lebih berkelanjutan, namun dengan tingkat yang mendekati atau bahkan di bawah yang terlihat pada tahun ini. Jadi, dalam Super-Cycle, jelas akan ada tantangan bagi para pembuat kebijakan.

Sebagaimana pentingnya untuk fokus pada tantangan jangka pendek, namun sangat penting tetap melihat peluang jangka panjang. Selama Super-Cycle, kami percaya bahwa China bisa menggantikan AS sebagai perekonomian terbesar dunia pada 2020, jauh lebih cepat daripada yang banyak pihak prediksikan.

Namun, dari perkiraan itu yang paling penting adalah cerita yang terjadi dibaliknya.

Tak bisa dipungkiri, ada skala perekonomian yang tengah berkembang. Seiring dengan pertumbuhannya, negara-negara berkembang akan memberikan pengaruh lebih besar pada perekonomian dunia. Begitupun dengan dampak dari pertumbuhan koridor-koridor perdagangan baru. Hampir 85% dari populasi dunia kini semakin saling terkait melalui perdagangan, sehingga memungkinkan pertambahan jumlah orang yang akan berkontribusi pada perekonomian global.

Sumber-sumber pendanaan akan menjadi penggerak pertumbuhan yang penting, mengingat tingginya kebutuhan investasi, khususnya di bidang infrastruktur. Lalu ada hal lain yang saya sebut perspiration atau keringat dari makin banyaknya jumlah orang yang bekerja dan berbelanja, dan juga kreativitas yang makin besar atas inovasi dan teknologi.

Negara-negara yang akan berhasil adalah negara yang paling banyak memiliki uang tunai, komoditas dan kreativitas. Dalam beberapa tahun terakhir saya kerap menjelaskan keadaan yang tengah terjadi sebagai New World Order, mencerminkan pergeseran keseimbangan kekuatan ekonomi dan keuangan dari Barat ke Timur.

Nah, di tengah pergeseran ini masih berlaku, Super-Cycle lebih tepat mencerminkan apa yang sedang terjadi. Barat masih sangat mungkin berhasil dengan lingkungan seperti ini, terutama jika perekonomian di sana kreatif. Namun sudah jelas bahwa Asia akan muncul menjadi pemenang.

Penulis:
Dr Lyons Gerard
Head of Global Research and Chief Economist di Standard Chartered Bank

*kritik dan saran anda sangat saya harapkan untuk kemajuan blog ini

Sabtu, 05 Februari 2011

Berkat Kotoran Sapi, Raup Rp 110 Juta



Kotoran sapi tidak hanya bermanfaat sebagai bahan baku utama kompos, tetapi bisa juga menjadi bahan baku pembuatan gerabah, batu bata, dan kerajinan tangan. Syammahfuz Chazali sudah membuktikan dan menjadi tambang emasnya. Ia meraup omzet Rp 110 juta per bulan.

Siapa yang tidak jijik melihat kotoran sapi? Tapi, tak banyak orang menyangka, kotoran ini punya banyak manfaat. Tidak hanya sebagai bahan baku pupuk kompos, tapi juga aneka kerajinan tangan dan batu bata.

Di tangan Syammahfuz Chazali, kotoran sapi bisa menjelma menjadi perkakas rumah tangga, batu bata, dan bermacam kerajinan tangan atau handicraft.

Melalui PT Faerumnesia 7G, Syam, panggilan akrab Syammahfuz Chazali, saban bulan memproduksi 75 hingga 100 gerabah, 500 batu bata, dan ratusan jenis kerajinan tangan, seperti lampu aladin, vas bunga, guci, serta tempat makan. Harga gerabah dan kerajinan tangan mulai Rp 100.000 hingga Rp 750.000 per item. Ia pun sanggup meraih omzet Rp 110 juta per bulan.

Atas prestasinya mengembangkan usaha dengan bahan baku kotoran sapi, pria 26 tahun ini menyabet juara satu Social Venture Competition tingkat dunia di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tahun 2009 lalu.

Prestasi ini sangat membanggakan. Selama 10 tahun ajang itu digelar, belum pernah ada tim perguruan tinggi dari luar negeri Paman Sam yang sukses menggondol juara pertama dan berhak atas uang sebesar 25.000 dollar AS.

Syam yang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada mulai menekuni bisnis berbasis kotoran sapi sejak 2006. Awalnya, dia sekadar ingin mengikuti perlombaan kreativitas di kampusnya. Apalagi, ia melihat kotoran sapi selama ini belum terkelola dengan baik.

Padahal, banyak peternakan yang berada di daerah pemukiman yang limbahnya tidak terkelola dengan benar. Tentu saja, ini akan menjadi sumber pencemaran lingkungan berupa bau tak sedap yang dapat mengundang lalat yang kemudian akan menyebarkan kotoran tersebut.

Selain pencemaran udara, kotoran sapi juga bisa menimbulkan pencemaran air. Soalnya, banyak kotoran sapi yang dibuang begitu saja ke sungai oleh para peternak. Lagi-lagi, tentu saja, pencemaran tersebut bisa menimbulkan beragam penyakit.

Berangkat dari situ, Syam kemudian mencari tahu lebih banyak mengenai kandungan kotoran sapi melalui pelbagai literatur. Akhirnya, ia menemukan, dalam setiap 1 kilogram kotoran sapi terdapat kandungan silika sebesar 9,6 persen. Silika merupakan suatu senyawa yang bisa diolah menjadi bahan baku untuk gerabah dan batu bata.

Syam pun berkonsultasi dengan para dosennya dan pihak-pihak lain yang berkecimpung di dunia pengolahan limbah hewan mengenai kelanjutan bisnis berbasis kotoran sapi. "Waktu itu, tidak sedikit yang meragukan peluang bisnis ini," ungkap Syam.

Beragam eksperimen ia lakukan. Dengan kegigihan dan konsistensinya, usaha Syam mulai berbuah hasil. Bahkan, banyak orang menilai, produk batu bata dan gerabah buatannya lebih halus, ringan, dan kuat.

Proses pembuatannya juga tidak begitu rumit. Kotoran sapi cukup dicampur dengan tanah keras dan ditambahkan formula bio-aktivasi berupa faerumnesia. Kemudian, biarkan selama dua sampai tiga minggu hingga berbentuk seperti tanah liat.

Fungsi formula faerumnesia adalah meningkatkan kadar silika dalam kotoran sapi sehingga bisa digunakan sebagai bahan baku. Formula ini juga berfungsi untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari kotoran sapi tersebut.

Setelah berbentuk tanah liat, bahan ini bebas dibentuk sesuai keinginan. Apakah mau dibentuk batu bata, gerabah, maupun kerajinan tangan. "Satu ton limbah sapi bisa untuk membuat 500-900 batu bata," kata Syam.

Prosesnya juga sama dengan pembuatan gerabah pada umumnya, mulai dari pembentukan, penjemuran, pembakaran, hingga penyempurnaan. Begitu juga waktu yang diperlukan dari proses pembentukan, penjemuran, pembakaran hingga penyempurnaan, juga sama, hanya satu setengah bulan.

Menurut Syam, bahan baku dari olahan kotoran sapi mampu bertahan pada suhu 1.000 derajat celsius.

Saat ini, Syam sudah memasok produk gerabah, batu bata, dan kerajinan bikinannya hampir ke seluruh Indonesia. Untuk kerajinan tangan, permintaan paling banyak dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kebanyakan pembeli mencari sebagai pajangan di dalam rumah atau untuk suvenir. "Untuk produk lampu aladin, artis Dorce dan Wulan Guritno merupakan konsumen kami," ujar Syam bangga.

Produk kerajinan tangan buatan Syam siap menembus pasar ekspor. Akhir 2010 lalu, ada pengusaha asal Belanda yang tertarik untuk bekerja sama. Pengusaha ini menyatakan, olahan kotoran sapi juga bisa sebagai isolator sehingga tahan untuk empat musim.

Syam sudah mulai mengirimkan beberapa produknya ke negeri kincir angin tersebut sebagai sampel. Jika kerja sama tersebut berjalan lancar, ia akan mulai secara rutin mengekspor produknya dalam jumlah besar.

Dengan meningkatkan promosi dan pemberian informasi yang benar kepada masyarakat luas, Syam yakin bisnis berbasis kotoran sapi ini akan terus memberikan keuntungan. Prinsip utamanya adalah mengubah masalah menjadi sebuah keuntungan. "Sambil mengurangi limbah, kita juga bisa meraih keuntungan yang menjanjikan," ujarnya.

Promosi menjadi penting lantaran satu-satunya hambatan para konsumen adalah mereka masih ragu dengan aroma yang tidak sedap yang akan muncul dari produk-produk berbahan baku kotoran sapi.

Padahal, seluruh pelanggan produk-produk buatan Sam sudah tegas-tegas menyatakan, hasil olahan limbah sapi itu benar-benar sudah terbebas dari bau tak sedap. Toh, masih ada orang yang ragu dan tidak percaya.

Kini, selain aktif mempromosikan melalui internet, Syam juga kerap ikut pameran skala nasional maupun internasional. Syam bahkan sudah mempromosikan produk-produknya di China dan Australia